Cerpen Islami Menyentuh Hati Terbaru 2018 - Sahabat Pena , setelah kemarin admin informasikan mengenai dongeng sebelum tidur dan pada kesempatan kali ini admin mau membuatkan info mengenai Cerpen islami yang mana Cerpen ialah jenis karya sastra yang diparkan atau dijelaskan dalam bentuk goresan pena yang berwujud sebuah kisah atau kisah secara pendek, jelas, serta ringkas. Cerpen bisa disebut juga dengan sebuah prosa fiksi yang isinya ihwal pengisahan yang hanya terfokus pada satu konflik atau permasalahan.
Cerpen Islami : Tangis Untuk Mu
Malam ini saya terbangun dari tidurku begitu cepat. Dan ketika ku lihat waktu masih memperlihatkan pukul 2 dini hari. Aku mendengar bunyi tangisan yang saya tak tau tangisan siapa itu.
"Siapa yang menangis malam-malam ibarat ini?" lirihku.
Akupun beranjak dari tempat tidurku untuk mencari sumber tangisan itu. Dan langkahku terhenti ketika saya melewati lemari pakaiannku. Suara tangisan itu terdengar semakin akrab dan jelas. Awalnya saya sempat takut, namun rasa ingin tau ini mengalahkan rasa takutku. Akhirnya ku memberanikan diri untuk membuka lemari itu. Dan ternyata tak ada sesuatu yang gila disana, yang kudapati hanya pakaian-pakaianku yang tertata rapi. Namun tangisan itu semakin akrab dan semakin dekat. Hal itu yang membuatku terus mencari sumber tangisan itu dengan membongkar semua pakaianku. Pencarianku terhenti ketika ku temukan sebuah jilbab di hadapanku.
Ternyata jilbab itu yang menangis. Sungguh saya tak percaya dengan apa yang saya alami ketika ini. Tapi memang benar jilbab itu yang manangis. Tak berapa usang sehabis ia menagis, jilbab itu mulai menyampaikan sesuatu.
“YaAllah YaTuhanku… sungguh saya bersyukur Kau mentakdirkan saya menjadi sesuatu yang Kau wajibkan bagi HambaMu, sehingga saya selalu menjadi yang berharga dan terpenting untuk mereka. Tapi tidak untuk kali ini Robb.. saya yang Kau wajibkan ini tak berharga di matanya, saya yang Kau wajibkan ini menjadi barang yang tak mempunyai kegunaan untuknya. Aku tak pernah ia kenakan lagi Robbi.. Aku telah menjadi sejarah untuknya. Ampuni dia yaAllah, berikanlah ia hidahayahMu, sadarkan ia, jadikan ia mengerti akan kewajibanku untuknya…”
Aku yang ketika itu masih berdiri di lemari yang terbuka dan dihadapan jilbab yang sedang bermunajah kepada Robb-nya hanya bisa menangis dan meratapi semua itu. Kusadari akan kelalaian kewajibanku. Aku hanya memakainya dikala waktu-waktu tertentu. Oh Robb.. ampuni aku
Tak berapa lama, saya kembali mendengar bunyi sesuatu yang merintih. Namun kali ini bukan lagi berasal dari jilbab yang tadi dihadapanku. Melaikan dari Al-Qur’an yang tersimpan rapi di rak bukuku.
“Ilahi.. mungkin diantara ciptaanMu saya ialah ciptaanMu yang paling suci. Benda yang selalu diagung-agungkan oleh hambaMu, sesuatu yang berisi semua firman-firmanMu , sesuatu yang dijadikan pedoman bagi semua ciptaanMu, yang kalau dilantunkan hati ini menjadi tenang karnaMu. Ilahi.. sungguh saya senang akan takdirMu ini. Namun Ilahi, disini saya hanya menjadi buku biasa yang tak berharga. Aku hanya menjadi sesuatu yang tak bernilai. Aku telah usang disimpannya disini. Aku rindu ia yang dulu, ia yang setiap hari tak pernah melewatkan untuk melantunkan ayatMu dengan merdunya. Kini bunyi merdunya telah ia berikan untuk lagu-lagu yang sama sekali tidak mendekatkannya kepadaMu Ilahi. Kembalikan ia ibarat dulu, maafkan kesalahannya wahai Sang Pengampun, serta berikanlah ia hidayahMu wahai Sang Pencerah”.
Setelah mendengar semua itu, tubuhku terkulai lemas. Rasanya tak sanggup lagi saya menopang tubuh ini. Dan akupun terjatuh dari tempatku berdiri. Tuhan.. sekali lagi ampuni hamba.
Selang beberapa detik. Telingaku kembali mendengar rintihan sesuatu.
‘Wahai Dzat yang menjanjikan ampunan, ampuni dia yang memilikiku. Dia yang yang selalu menyia-nyiakanku, dia yang hampir selalu menunda-nunda untuk memakaiku, menunda-nunda untuk menghadapMu. Robbi.. ampuni ia yang juga tak pernah lapang dada menjalankan kewajibanMu. Ia yang hanya mengingatMu dikala susah, dan ia yang melupakanMu di ketika senang. Ampuni ia Ilahi..’
Rintihan itu trnyata dari mukenahku.
‘YaAllah.. untuk kesekian kalinya ampuni saya yang terlampau sering menunda-nunda waktu untuk berjumpa denganMu, dan ampuni saya yang yang tak pernah lapang dada menjalankan kewajibanku. Robb.. sungguh saya aib mendengar semua ini. Benda-benda ciptaanMu yang tak Kau beri logika dan hati semuanya tunduk kepadaMu. Sedangkan aku, saya yang Kau ciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna, mahluk yang mempunyai akal, fikiran dan hati selalu ingkar dan lupa akanMu. Oh Ilahi.. kata maafpun rasanya tak pantas terucap dari bibir insan yang penuh sekali dengan dosa untukMu yang tak pernah berhenti menberikan nikmat untukku. Namun hanya Engkau Tuhanku, hanya Engkau yang patut saya sembah, dan hanya kepadaMu saya memohon ampun. Ampuni hamba Robb..’
Dan lagi-lagi saya mendengar rintihan dan tangisan yang sangat akrab dengan telingaku. Dekat sekali. Ternyata rambut panjang yang menjadi icon kebanggaankulah yang menangis dan merintih.
‘Wahai yang Maha Agung. Aku senang telah menjadi mahkota untuk HambaMu. Aku telah mengindahkan rupa mereka atas izinMu. Tapi yaAllah.. sungguh saya aib menjadi mahkota perempuan yang ini. Wanita yang mempertontonkan saya kepada siapa saja yang bukan muhkrim baginya. Dengan gampang dan begitu bangganya dia memamerkan keindahanku. Oh Robb.. sungguh saya malu, saya aib telah di pertontonkan, dan saya aib telah dipamerkan. Terbakar oleh api nerakaMu jauh lebih baik untukku dari pada saya terus dipermalukan olehnya. Ku mohon bakar saya robbi, bakar aku, bakar aku, bakar aku, bakar aku………….’
“TIDAK…………………….” Teriakku.
Aku terbangun dari tidurku.
“YaAllah ternyata semua itu hanya mimpi. Mimpi indah sekaligus mimpi jelek untukku. Indah sebab Kau ingatkan aku. Buruk sebab saya aib akan semua sikap-sikapku.”
Segera saya beranjak dari tempat tidurku untuk mengambil air wudhu dan mendirikan sholat malam yang hampir tak pernah saya dirikan.
Robbi..
Izinkan saya mengucap taubat kepadaMU
Izinkan saya memohon ampunanMU
Bantu saya untuk memenuhi segala kewajibku
Bantu saya untuk menjahui segala laranganMU
Serta bantu saya untuk tidak kembali ke jalan yang bukan RidhoMU
Ilahi..
Jadikan taubatku ini taubatan nasuhah
Dan jadikan hijrahku hijrah yang kaffah
Mentari Dibalik Jilbab
Aku ialah seorang cewek yang hidup di suatu kawasan ang masyarakatnya masih sangat ndeso pemikirannya, dan masih sedikit sekali akan pengetahuan agama Islam. Aku tahu kalao berjilbab wajib hukumnya bagi umat islam, tapi saya tak tahu bagaimana cara melaksanakan kewajiban itu, sedangkan keluarga dan biaya untuk membeli pakaian muslimah sangat tidak mendukung. Meski begitu saya selalu berharap suatu hari nanti Yang Mahakuasa niscaya memberi jalan kepadaku untuk melaksanakan kewajiban itu.
“Setiap ketika saya menjalankan sholat, saya harus selalu mengenakan pakaian jilbab.” Bisiku dalam hati kecil, tapi segera saya sadar hatiku eksklusif berdetak “deg” dan wajahku mulai memerah, matakupun berkaca-kaca. Aku mulai teringat akan keadaanku yang mustahil untuk membeli pakaian jilbab.
Orang tuaku bukanlah orang kaya, tetapi juga bukan orang yang melarat. Dan bantu-membantu mereka bisa untuk membeli pakaian jilbab itu. Aku memaklumi hal itu sebab orang tuaku bukanlah golongan orag santri yang mengerti ihwal duduk masalah agama, sanggup digolongkan islamnya itu hanya islam KTP, sehingga kepentingan berjilbab seringkali mereka anggap sutu hal yang neko-neko.
Tapi saya selalu mencoba untuk bersabar, saya juga sering kali menceritakan keinginanku itu pada teman-temanku yang sudah berjilbab, tapi tidak juga mendapatkan jalan keluar. Aku anggap ini ialah cobaan bagiku dan saya harus bersabar.
3 Bulan telah berlalu, Temanku Neza menyampaikan kepadaku kalau kini ada gerakan 1000 jilbab. Kaprikornus belum dewasa yang belum berjilbab akan menerima santunan dari anak remas. “Alhamdulillah” Ucapku dalam hati.
Lega rasa hatiku mendengar perkataan temanku Neza. Aku tidak begitu merasa aib mengingat jilbab merupakan kebutuhan, meskipun saya harus mendapatkanya dengan orang lain. Setelah saya mendapatkan pakaian jilbab dari pihak remas, saya merasa sangat senang dan saya kira tak ada lagi cobaan yang berarti karna saya tinggal memakainya tanpa dipungut biaya sepeserpun. Tapi kenyataanya tak seindah yang kubayangkan. Ternyata mengenakan jilbab lebih berat cobaanya daripada mendapatkannya.
Cobaan yang tiba dari banyak sekali pihak. Dari orang tua, kakak, adik, mereka selalu mencomoohku dengan banyak sekali kata-kata yang bergairah dan kotor. Yang nggak pantas lah, dan banyak sekali macam penghinaan yang lain harus kuterima setiap waktu. Aahku juga sering menyampaikan kalau saya bersikeras menggunakan jilbab, ia tidak akan menyekolahkan dan tidak mengurusku lagi. Sementara ibuku yang paling kucintai ternyata beropini sama dengan ayahku.
“Dengarkan,, Kamu tidak akan mati meskipun kau tidak pakai jilbab” hardik ibuku
“tapi bu....!!!”
“tidak tapi-tapian, lagipula kalo belum tahu dalilnya tidak usah berpakaian ibarat itu. Tidak ada gunanya....!!! Sela kakakku yang juga sependapat dengan mereka.
Aku kecewa sekali mendengar perkataan mereka, saya hanya bisa menjawab dengan tangisan-tangisan yang tidak berarti bagi mereka. Seakan-akan saya tak punya siapa-siapa lagi didunia ini. Air mataku seakan tak pernah berhenti mengalir. Hanya ketika sekolah dan mengaji lah hatiku bisa merasa tenang dan bahagia. Dan hanya satu anak lelaki yang mendukungku untuk menggunakan jilbab, namun dia berada jauh dariku. Dengan keadaan yang ibarat itu saya tidak tahan lagi menghadapinya.
“sabar...sabar...mungkin itu memang cobaan yang harus kau hadapi” Hibur Neza “iya... kau harus kuat... kau harus bersabar... sebab membawa kebenaran ditengah kedzaliman itu amatlah mulia” Sela salah seorang sahabat yang selalu setia menemaniku.
“Walau sekejam-kejamnya orang bau tanah niscaya juga tidak akan membunuh anaknya sendiri” tambah Neza
Semua perkataan itu menbuatku tenang dan tentram apabila saya berada di rumah.
“apakah orang tuaku termasuk orang yang zalim ?” pikirku dalam hati yang selalu bertana-tanya.
Hari demi hari kulalui dengan bersabar meskipun ucapan-ucapan dan kurang baik dari keluargaku itu selalu menciptakan nafsu amarahku bangkit. Namun demikian saya selalu mencoba untuk menghibur diriku sendiri dalam menghadapi semua duduk masalah yang ada.
Satu bulan saya telah berjilbab, saya merasa lega dan besar hati pada diriku sendiri sebab semenjak ketika itu saya mulai mengerti bahwa begitu bervariasinya hidup di dunia ini, penuh dengan tangis, canda, tawa, dan semuanya. Benar kata seorang pujangga yang menyatakan bahwa “dunia ini terasa ibarat panggung sandiwara yang ceritanya gampang sekali untuk berubah”
sumber : www.gen22.net
Renungan Napas Yang Mereda
Jarum jam dinding yang melaju terdengar terang di telingaku, detik demi detik berjalan begitu cepat. Lantunan ayat suci Al-Qu’ran yang terdengar dari arah timur sana menciptakan hati ini semakin tenteram dan damai. Ternyata terlihat seorang Kakek yang sedang menghafal ayat-ayat suci itu, badannya begitu bungkuk sedang berdiam diri di sebuah dingklik yang sudah tua, dengan tak disangka-sangka Kakek itu sedang menghafal tanpa melihat bacaan sedikit pun. Inallilahi, ternyata dia tidak punya penglihatan sama sekali, semenjak lahir dia sudah tidak bisa melihat dunia yang diciptakan Yang Mahakuasa SWT ini.
Oh Tuhan, sungguh malang nasibnya, hidupnya tanpa ditemani oleh siapa-siapa. Istri Kakek itu telah meninggal semenjak 1 tahun yang lalu, dan Kakek itu tidak mempunyai anak sama sekali. Kini dia hanya hidup sendiri tanpa dirawat oleh siapapun. Setiap hari Kakek itu selalu melantunkan ayat-ayat dengan begitu merdu, dia telah menjadi penghafal Al-Qur’an yang begitu hebat. Sudah hampir 10 juz yang telah dia hafalkan tanpa melihat itu. Sungguh luar biasa.
Dahulu si Kakek mempunyai anak angkat yang begitu saleh dan rajin sehingga Kakek itu bisa menjadi penghafal sebab diajarkan oleh anak angkatnya itu, tetapi kini anak angkatnya itu sedang bekerja di Saudi Arabia bersama sang istri, dikarenakan mereka tidak pernah mendapatkan pekerjaan yang layak di kampung ini, jadi mereka memutuskan untuk pergi ke Saudi dan terpaksa harus meninggalkan Kakek demi mengejar pekerjaannya itu.
“mah, sore ini Fiya mau ke pesantren lebih awal yah? Soalnya hari ini Fiya pecahan piket kelas.” ucapku sambil memakan gorengan di meja makan.
“iya Fiya, kalau begitu kau tingal berangkat saja, kini Mamah mau pergi dulu ke warung.” Tembal Mamah.
Hari semakin sore dan saya pun bersiap untuk sekolah di pesantren Al-Hikmah yang tak jauh dari rumah. Memang setiap sore saya harus sekolah dan menimba ilmu di pesantren itu khususnya ilmu agama, semoga agamaku semakin berpengaruh dan tidak lemah, sebab semakin hari menurutku dunia semakin kritis tingkat keagamaannya jadi saya takut banget kalau suatu hari nanti saya tidak punya bekal untuk ku bawa ke rumah Yang Mahakuasa nanti.
“Assalamualaikum, selamat sore kek, kenapa gak dilanjutkan mengajinya kek? Fiya senang banget loh dengar Kakek mengaji, suaranya merdu banget.” Ucapku menghampiri Kakek yang terlihat sedang memegang Al-Qur’an.
“Waalaikumsalam, eh nak Fiya. Iya Kakek sedang menunggu waktu salat Ashar nih, jadi Kakek berhenti sejenak dulu. Fiya mau ke mana?” tanya Kakek.
“Fiya mau ke pesantren kek, kebetulan lihat Kakek di luar jadi Fiya mampir dulu ke sini deh.” jawab aku.
“oh iya iya, ya sudah Fiya berangkat saja ke pesantren nanti telat loh.” Sahut Kakek.
“iya kek, tapi bentar lagi aja deh, Fiya mau temenin Kakek dulu. Boleh?” tanyaku.
“oh, boleh.. tentu boleh dong.” tembal Kakek tersenyum.
“oh iya kek, Fiya boleh gak kalau mencar ilmu ngaji sama Kakek, soalnya Fiya seneng banget dengerin Kakek mengaji dengan lagam begitu?” tayaku malu.
“ya tentu saja boleh, dengan senang hati. Tapi memangnya Fiya gak mencar ilmu ngaji di pesantren?”
“belajar sih, cuma Fiya mau lebih lancar lagi baca dan menghafalnya, semoga Fiya bisa kayak Kakek. Hehehe.” ucapku tertawa miris.
“siap deh, kalau begitu nanti sehabis maghrib Fiya tiba saja ke rumah Kakek yah.”
“oke kek, ya sudah Fiya berangkat dulu ya kek, Assalamualaikum kek.”
Suara Adzan Ashar telah bergema, saya harus cepat-cepat hingga ke pesantren sebelum terlambat, mana saya belum piket lagi. Dari kejauhan belum dewasa terlihat sedang melaksanakan persiapan salat Ashar yang selalu berjemaah itu, dengan segera saya lari menuju pesantren.
“Assalamualaikum.” ucapku ngos-ngosan.
“Waalaikum salam.” jawab belum dewasa serempak.
Aku segera membawa mukenaku dan segera memakainya.
—
“Assalamualaikum kek.” Sahutku mengetuk pintu rumah Kakek itu.
“Waalaikumsalam, masuk.” Terdengar bunyi Kakek menjawab dari kejauhan, dengan segera saya masuk ke rumah dan eksklusif menghampiri Kakek, terlihat dari ruang tengah yang cukup luas ini Kakek sedang berbaring di tempat tidurnya yang bernuansa zaman dahulu itu.
“Kakek kenapa?” tanyaku menghampiri Kakek.
“Kakek cuma agak pusing sedikit. Fiya mau mencar ilmu ngaji kini yah?” tanya Kakek balik.
“iya kek, tapi melihat kondisi Kakek begini kayaknya gak jadi deh, Kakek harus istirahat semoga pusingnya bisa hilang. Oh iya, Kakek mau dibelikan obat apa sama Fiya, semoga Fiya kini ke apotek?” tanyaku menyampaikan Kakek untuk membeli obat ke apotek, sebab saya kasihan sama Kakek yang sudah tidak ada yang mengurus dia lagi.
“gak usah Fi, Kakek udah biasa kok pusing kayak begini, ditidurkan sebentar aja nanti sembuh kok.” sahut Kakek lemas.
“ya sudah kalau begitu Fiya masakin bubur ya kek, semoga Kakek makan semoga bisa cepet sembuh.”
Melihat kondisi Kakek kayak gini saya semakin tersentuh dengan kehidupannya yang begitu pahit ini, Kakek setiap hari harus mencicipi kesendirian, sehingga melaksanakan aktivitasnya pun tanpa ditemani oleh siapapun. Ya Yang Mahakuasa berilah dia ketabahan untuk melewati semuanya. Dengan semangatnya saya menciptakan semangkuk bubur yang hanya diberi kecap asin sedikit. Dapur yang luas dengan pernak-pernik tidak mengecewakan berkelas ini membuatku nyaman dalam memasak, ruangannya pun selalu bersih. Memang Kakek yang satu ini meskipun tidak melihat tetapi sangat hidup bersih, Kakek ini pun termasuk orang yang tergolong di atas lah. Meskipun Kakek tergolong kaya tapi Kakek tidak pernah sombong dengan semua yang dimilikinya.
“kek ini buburnya, Fiya simpan di meja yah. Sekarang Fiya mau salat dulu sebab adzan sudah bergema.” ku simpan bubur itu di meja akrab tempat tidur Kakek.
“Fiya tunggu, Kakek juga mau wudu. Tolong bantu Kakek berdiri yah.”
Subhanallah, Kakek ini sangat mentaati perintahmu Ya Allah, meskipun tubuh dia sedang sakit tapi dia tetap menjalankan perintahmu, beda halnya dengan orang lain. Aku membantu Kakek berwudu ke kamar mandi dan kami pun salat berjamaah. Setelah salat berjamaah saya dan Kakek mengaji, sekaligus Kakek mengajarkanku mengaji dengan menggunakan lagam. Senangnya, ini ialah hari pertamaku mencar ilmu mengaji bersama Kakek. Merinding sekali rasanya malam ini mendengar Kakek mengaji ketika sedang mengajariku. Selang 1 jam, ngaji pun selesai, saya segera menyuruh Kakek untuk memakan bubur itu dan kemudian istirahat lagi, semoga badannya bisa Vit kembali, dan besok saya akan kembali menjenguk Kakek sehabis pulang sekolah.
Pagi yang cerah menyambutku dengan ceria, mengantarkanku ke gerbang sekolah menengah atas yang jaraknya tidak mengecewakan jauh dari rumah, kira-kira 2 km yah. Matahari bersinar begitu hangatnya, sehingga tubuh pun mengikuti alur hangatnya itu. Terlihat temanku yang sudah berhamburan ke kelas yang bercat ungu itu, saya pun segera berlari menuju kelas itu. Hufttt kesiangan lagi. Hahaaaah.
Tujuh jam berlalu begitu cepat, kini saatnya saya harus pulang dan segera menjenguk Kakek itu kembali. Dengan begitu buru-buru saya segera pulang dengan persaan yang begitu cemas akan keadaan Kakek, gak tau kenapa tiba-tiba saya mencicipi kegelisahan yang amat luar biasa. Tak usang saya hingga di rumah Kakek, dan eksklusif mengetuk pintu dengan begitu keras. Entah kenapa tidak disahut terus, saya pun memutuskan untuk masuk. Tapi ternyata sehabis saya lari ke mana-mana Kakek tak kunjung ditemukan.
“kek, Kakek. Kakek di mana? Ini Fiya kek?” saya terus memanggil Kakek hingga ke mana-mana, tiba-tiba ada seorang Ibu yang menyampaikan Kakek di rumah sakit sebab tadi ada yang menemukan bahwa Kakek jatuh pingsan ketika dia hendak akan ngaji ibarat biasanya di luar rumah.
Di rumah sakit. Terlihat di luar ruangan ada Mamah saya yang sedang menunggu, ternyata Mamah saya yang menolong Kakek ke rumah sakit.
“mah, gimana keadaan Kakek, baik-baik saja kan?” tanyaku gelisah.
“Mamah juga gak tahu, kini dokter sedang menyidik Kakek.”
“dengan keluarga Bapak Ake?” tanya dokter yang telah menangani Kakek itu.
“Bapak ake tidak bisa diselamatkan, dikarenakan keterlambatan dibawa ke rumah sakit, penyakit tumornya itu telah menggerogotinya terlalu lama, sehingga tim medis tidak bisa untuk mengobatinya lagi.” Jelas dokter.
“inallilahi wainaillaihirodziun.”
Ya Allah, kenapa mesti begini. Ternyata orang yang sangat mulia di hadapanmu meninggal dengan disertai penyakitnya itu, dia begitu sabar Tuhan. Kenapa engkau mengujinya begitu berat.
“Fiya gak percaya, Fiya gres saja satu hari mencar ilmu ngaji sama Kakek mah, kenapa harus secepat ini. Kasihan Kakek mah.” Ucapku pada Mamah dengan air mata yang begitu deras.
“iya Fiya, Mamah juga tidak percaya, orang setabah dan sebaik Kakek Ake bisa meninggal secepat ini.” Tembal Mamah.
Ya Yang Mahakuasa rasanya saya bermimpi sangat jelek sekali, ini rasanya mimpi terburuk yang pernah ada dalam hidupku. Tapi lagi-lagi ini bukan mimpi Tuhan. Aku belum bisa percaya ini semua terjadi menimpa Kakek baik hati itu. Ya Allah, sudah niscaya penghafal kitab suci itu masuk ke dalam Surgamu Ya Allah. Karena dia telah memperlihatkan dengan keterbatasannya, bahwa dia mempunyai kemampuan melebihi orang yang sempurna. Amin.
Kini saya tak bisa melihat sang Kakek di depan rumah yang sedang mengaji Al-Qur’an, kini saya tidak akan pernah lagi mendengar bunyi merdunya itu. Mulai kini motivasiku untuk menghafal Al-Qur’an akan ku wujudkan. Bismillahirahmanirrohim.
Cerpen Karangan: Ana Oktaviana
Blog: http://anaoktaviana22.blogspot.co.id
Ana Oktaviana. Ciamis, 22 Oktober 1997
Sekolah: Sekolah Menengan Atas N 1 B Aregbeg
Sekianlah rangkaian cerpen islami yang sanggup admin sampaikan pada kesempatan kali ini semoga bermanfaat dan semoga mendapatkan pesan yang tersirat dan pelajaran
No comments:
Post a Comment